Menjadi Ayah

Menjadi Ayah
Pada suatu siang yang biasa, seorang pemuda, berambut agak panjang, berbadan tirus, dan matanya menghitam karena kekurangan tidur, mendapat panggilan spesial untuk masuk ke suatu ruang. Perasaannya campur aduk: antara haru, bahagia, dan sedih.

Dia membuka pintu dari kayu berwarna putih ruang operasi besar di rumah sakit milik pemerintah itu. Di tengahnya terdapat kaca yang tak tembus pandang. Ruangan itu memanjang, dan lengang. Sepi. Di sudut kiri, terdapat banyak alat kesehatan yang ditumpuk tak beraturan. Di sebelah kanan, hanya gelap yang terlihat.

Suasana ruang itu agak mencekam, sehingga membuat pemuda berbaju putih kekuningan agak kumal itu menghela napas beberapa kali. Detik demi detik merambat perlahan. Menambah gundah.

Sejenak berlalu, seorang perawat datang, berkerudung biru dan berbaju putih. Senyum tipis tergurat. Dia menggendong sesosok bayi mungil, yang tangisnya memecah kesunyian ruangan memanjang itu.

"Anak bapak laki-laki" ucapnya singkat. Bayi mungil itu belum membuka mata, lalu menangis ketika hendak diserahkan.

Setelah bayi itu diserahkan, secara ajaib tangisnya mereda. Perasaan tenang merasuki tubuh kecilnya yang berwarna merah. Seakan-akan bayi itu merasakan inilah orang yang akan menjagaku nanti. Wajahnya tidak lagi menegang, meskipun matanya belum juga terbuka sempurna.

Ada cairan hangat yang perlahan mengaliri pipi pemuda tirus itu. Muncul pula perasaan hangat yang menyelimuti hatinya. Dan kebahagiaan itu kini membumbung tinggi, menggantikan nuansa seram ruangan itu.

"Ayo Pak cepat diadzani." Ibu perawat yang sekira berusia 40 tahunan itu mendesak. Tak perlu membaca raut wajah, jelas dia sudah tidak sabar.

Sontak dia terkejut. Tapi dia berusaha menenangkan keadaan. Malam-malam tanpa tidur nyenyak dan panggilan tiada henti dari ruang bersalin sudah mengajarinya banyak.

"Allahu akbar, allahu akbar" dia berhenti sejenak. Dia hendak mengingat.

"Allahu akbar walillahilhamdu" lanjutnya. Sang perawat tersenyum simpul. Kali ini sekilas giginya yang putih dan berjajar sempurna terlihat.

Si pemuda yang saking senangnya lupa kalimat adzan itu semakin panik. Aliran keringat menggantikan air mata, dan kebahagiaan berubah menjadi kepanikan.

"Allahu akbar, allahu akbar" dia berhenti sejenak. Lalu dia meraba-raba apa lagi yang hendak dibacanya.

"Allahu akbar walillahilhamdu" lanjutnya lagi.

Si perawat mulai cemberut. Giginya menggeretak. Wajahnya menegang. Kedua alisnya rasa-rasanya sudah menyatu.

"Allahu akbar, allahu akbar" dia berhenti sejenak lagi. Lalu merogoh hape, dan membaca kalimat adzan yang sudah disiapkannya.

Huh, ternyata menjadi ayah tak segampang yang dibicarakan orang, ucapnya.

Itulah hari pertama pemuda tirus, hari saat gelar "ayah" tersemat permanen, membawa kebahagiaan dan menghadirkan kewajiban moral. Orang-orang menyebut ayah itu Mara, atau Cemara.