Tak ada yang menyangka bahwa laut akan begitu
tenang siang itu. Angin bertiup sepoi-sepoi sehingga layar kapal tak begitu
banyak bergerak. Awak kapal akhir terbuai ketenangan laut itu, dan bahkan
sebagian besar di antaranya tertidur di dalam dek kapal. Terbawa lamunan dan
mimpi yang memeluk badan mereka yang remuk redam karena seharian harus
membersihkan kapal seusai diterjang badai.
Yang tersisa di atas kapal praktis hanya
nahkoda kapal, dan beberapa orang yang sedang patroli.
“Enak ya Mo kalo begini terus" kata Moki,
sambil melihat bentang biru laut di cakrawala langit. “Lautnya tenang. Kita pun
santai sehingga bisa duduk-duduk sambil ngobrol begini”
“Kadang laut memang tidak dapat diprediksi.”
Mocha memegang tongkat yang selalu dijadikannya sebagai senjata, dan kadang
pegangan ketika gelombang laut tak dapat dijinakkan. Matanya merah karena sudah
lama tidak tidur. “Setidaknya saat ini kita masih bisa menghirup bau laut.
Menikmati sepoi angin, dan ngobrol bersama di sini.”
Malam sebelumnya amuk badai sangat dahsyat.
Kapal berwarna hitam dengan aksen tengkorak berwarna putih yang mereka tumpangi
terseak-seok. Terombang-ambing di antara gelombang pasang laut. Mocha yang
biasanya sangat tangguh bahkan muntah berkali-kali. Sementara Moki, saudara
yang selalu menjadi beban bagi Mocha, ternyata balik mengambil kendali. Dia
memijat punggung Mocha dan menenangkan saudaranya itu.
Seperti biasanya keduanya selalu mendapatkan
giliran patroli di kapal pada shift yang sama. Kapten dan awak kapal lain tahu
keduanya hampir tidak dapat dipisahkan. Mocha tanpa Moki seperti dua sisi mata uang. Betul-betul kalo
kemana-mana harus berdua. Kalau tidak, salah satunya akan kebingungan. Bila
Mocha sudah kebingungan mencari Moki, seluruh awak kapal akan ikut kebingungan.
“Tinggal sejam lagi, Mo” kata Moki sambil
melirik tongkat yang dipegang Mocha. “Kita harus bersabar.”
“Ya, sebentar lagi”
“Matamu itu perlu dilem kayaknya. Perlu
dikasih kopi pahit agar selalu melek. Mata pelaut kok nggak seperti mata ikan.
Matamu itu kayak orang China”
“Dilem katamu. Apa menurutmu matamu itu tidak
kalah seperti mata orang India. Nggak Mo. Matamu itu bahkan lebih sempit
daripada mataku. Mungkin matamu itu perlu dikasih penjepit biar lebih terbuka”
balas Mocha sambil menyeringai. Matanya menunjukkan kelelahan, lalu jauh
menerawang ke arah bergeraknya elang yang terbang rendah pada siang yang terik
itu.
Moki lalu beranjak dari tempat duduknya, dan
merangkul adiknya itu. Mereka berdua lalu tertawa bersama.
Belum selesai tawa mereka, tiba-tiba ada
gelombang besar dari arah belakang, sisi kanan kapal. Padahal laut sedang
tenang. Kedua saudara yang sedang bercanda itu kaget, dan langsung menuju ke
sisi kanan kapal untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.
Ketika mereka bergegas pergi, gelombang besar
sekali lagi menimpa. Dan bersama kapal yang terseok, badan keduanya terhempas
ke permukaan kayu yang kini warnanya mirip kayu lapuk. Baunya agak apek, dan
amis. Butiran debu kecil memasuki mata mereka.
Meskipun terasa sakit, sepasang mata Moki
langsung mencari Mocha. Keduanya lalu mencari pegangan agar gelombang kedua
yang menimpa tidak akan membuat mereka ambruk lagi.
Setelah bersusah payah berdiri, Moki berhasil
menggapai sisi kanan kapal. Dilihatnya gelombang besar sekali lagi bergerak
cepat. Moki lalu segera meraih tangan Mocha, dan keduanya pun berpegangan.
“Ayo Cha. Segera pegang tanganku” teriak Moki,
yang lantas membuat awak lain waspada.
Mocha segera berlari, dan sejenak kemudian dia
berhasil memegang tali yang diikatkan di samping kapal. Tali yang sebesar
lengan orang dewasa itu mereka pegang erat-erat. Mocha lalu berteriak agar awak
kapal lain segera mencari pegangan. Ombak besar akan menerpa kapal.
Belum selesai keterkejutan semua orang,
sesosok makhluk laut besar muncul dari belakang kapal. Mereka semua terdiam.
Seakan terpesona dan terhipnotis hewan besar, yang bahkan tidak pernah mereka
mimpikan. Mereka semua terpana melihat sirip atas yang tak ada mirip-miripnya
dengan ikan itu. Sang Nahkoda juga sama. Kemudi kapal bahkan terlepas, tetapi
segera diraihnya kembali.
“Ayo segera lajukan kapal” teriak Kapten
Sipoltak dengan lantang. Seperti biasa. Di hatinya, dia sebenarnya merasakan
kengerian yang sama. “Ayo segera naikkan layar kapal” teriaknya pada semua awak
kapal yang bahkan belum bisa melepaskan pandangan dari makhluk raksasa itu.
“Ayo segera, bodoh” teriaknya sekali lagi dengan sangat lantang, yang lantas
seakan menyadarkan semua awak kapal.
Mereka semua berhamburan . Ada yang melepaskan
tali agar layar utama terbentang. Ada juga yang melepaskan tali layar kedua. Bahkan
ada juga yang turun ke lambung kapal untuk memeriksa apakah ada air yang menggenang
di situ.
Sementara itu sang kapten berteriak-teriak
lagi. “ Ayo cepat. Apa kalian mau jadi
santapan ikan raksasa itu." Mata kapten yang merah menyapu pandangan ke arah
kiri haluan kapal sambil memutar kemudi.
Belum selesai memutar penuh hingga 360
derajat, terdengar bunyi kraaak
panjang dari buritan. Semua awak kapal panik. Mereka berlarian ke sisi depan dek.
Meskipun kepanikan melanda seluruh kapal,
nahkoda tetap memegang kemudi. Diarahkannya kapal ke kiri terus sehingga kapal
berbelok tajam. Menurut perkiraannya, paus tidak akan bisa mengejar apabila
kapal diarahkan terus ke sisi kiri. Sesuai yang diyakininya, paus berenang
secara lurus ke depan.
BRAKKKKKK, kreeeeeeeeeeeeeet terdengar dari
sisi samping kapal. Sepertinya paus yang sedang marah itu membenturkan badannya
di dinding samping kapal. Atau mungkin menggunakan mulutnya untuk mendorong
kapal. Nakhoda yang sedang memutar kemudi itu terhuyung, dan akhirnya jatuh.
Dia segera bangkit. Tetapi nahas, beberapa awak kapal yang berada di sisi kapal
terlempar secara mengerikan ke dalam air yang bergolak itu. Tak ada yang
menolong mereka yang terombang-ambing di lautan. Semua orang sedang cemas
dengan nasib mereka sendiri-sendiri.
Bagian dalam kapal mulai terisi air laut. Laju
kapal akhirnya tersendat. Dengan sekuat tenaga, nakhoda memutar kemudi. Baginya, lebih baik mati karena
berusaha daripada mati karena menyerah. Namun, sudah terlambat. Kapal
kehilangan keseimbangan.
Dengan tenaga tersisa, nakhoda memerintahkan
dua awak yang berpegangan pada tiang layar, yaitu Mocha dan Moki, untuk segera
menurunkan sekoci di sisi kiri kapal. Dengan aba-aba yang sudah dilatih
sebelumnya, sekoci pun turun dengan mulus.
Di sisi kanan kapal, paus raksasa terlihat
masih mengamuk menghantam badan kapal. Bunyi kayu yang bergesekan, dan layar
yang jatuh menimpa air terdengar lantang. Teriakan awak kapal lain yang menjerit
ketakutan dan kedinginan terdengar lirih.
Nakhoda beserta Mocha dan Moki akhirnya mengayun sekoci
dengan sekuat tenaga, untuk menghindari kapal yang sebentar lagi akan tenggelam
itu. Sebentar kemudian, Kapten Sipoltak tergeletak di sekoci. Tatapan matanya
lesu. Mungkin dia kehabisan tenaga. Atau mungkin kehabisan akal. Ditatapnya
kapal itu lekat-lekat. Matanya sembap. Tak disangkanya, melepaskan kapal serupa
melepaskan anggota keluarga. Mengiris-iris hatinya.
Apa ini
karena kutukan kalung sialan yang kurampas dua minggu. Pikiran itu terlintas di benak sang kapten. Tenggorokannya kering dan lidahnya
kelu. Teringat kembali tindakan keji dua minggu lalu sudah membuat bulu kuduknya berdiri.
0 Komentar