“Jadi, cerita
lengkapnya gini Pit” ujarnya memulai cerita. “Boleh aku memanggilmu Pit saja? Hehehe”
“Nggak
masalah, yang penting kamu hepi” balasnya sambil menyeringai.
“Awalnya,
bapak dan ibuku yang juga kupu-kupu meletakkanku di daun pohon. Saat itu aku ya
masih telur. Ya, kecil gitu. Kadang daun jeruk, kadang daun pohon lain.
Pokoknya daun itu harus hijau.”
“Sama kayak
aku dong. Aku dulunya ya juga telur. Lalu menetas, tapi langsung punya sayap.
Meskipun nggak ada bulunya. Kayak gimana gitu, kalo nggak ada bulunya sama
sekali. Malu kalo dilihat binatang lain hehehe”
“Lha kamu
mau cerita sendiri apa mau dengerin ceritaku sih” ucapnya ketus. Rupanya, si kupu-kupu kesal.
“Eh sorry,
jadi curhat. Ayo wes kamu lanjut ceritanya.”
“Oke deh.
Telur itu lalu menetas dalam 4 hari. Biasanya menetasnya dalam 3-5 hari. Tapi
aku menetas dalam empat hari, lalu jadi ulat. Karena lapar, aku lalu menggeser
tubuhku pelan-pelan untuk makan dedaunan di sekitar tempat
telurku itu. Atau kadang ada sih temenku yang makan cangkang telurnya.”
“Nggak
terlalu keras tuh cangkangnya?”
“Nggak lah.
Lalu beberapa lama kemudian, aku membesar. Karena kulitku nggak elastis dan
nggak ikut membesar sesuai pertumbuhan badan, aku harus berganti kulit beberapa
kali. Lima kali tepatnya. Kata ibu, pergantian kulit itu disebut instar. Lucu
ya?”
“Ya lucu.”
Bibirnya menyeringai kecil. Menurutnya, itu nggak begitu lucu. Tapi kalo dia
terus terang, dia takut si kupu-kupu tidak akan bercerita lagi. "Warna
kulitmu gimana pas masih jadi ulat?"
“Cokelat. Tubuhku
agak bundar. Terus ada sedikit duri-durinya gitu. Nggak semua sih begitu. Ada yang
berbulu. Pokoke macam-macam lah.”
“Lah terus kapan
kamu jadi kupu-kupunya?” Nada bicaranya sudah agak memburu. Tak sabar ingin
segera tahu.
“Nah, kalo tubuhku
sudah nggak bisa tumbuh dan membesar lagi, itu tandanya aku harus menggeser
tubuh ke ranting pohon. Sambil bergelantungan, aku melepaskan kulit terakhir.
Nah, kulit terakhir itu lalu membungkusku, menjadi pupa. Alias kepompong. Di
situ itu, aku berdiam diri selama 13 hari. Macam-macam sih, ada yang sampe 20
hari malahan”
“Lha ya
terus kapan kamu jadi kupu-kupunya?” desaknya dengan suara agak
panjang.
“Aduh, kamu kok
nggak sabaran gini. Pantesan sayapmu itu jelek” sindirnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Oalah, kamu
kok sukanya ngenyek.
Mentang-mentang sayapmu itu bagus” kilahnya sambil mendengus.
“Aku
lanjutkan ya” potongnya sambil menatap burung pipit yang matanya agak merah. “Di
dalam kepompong itulah aku belajar menjadi serangga sempurna. Menyiapkan diri
menjadi kupu-kupu. Di dalam situ agak gelap. Terus udaranya agak terbatas.
Susah buat napas. Tapi memang harus begitu, kata ibu. Kalo kami nggak pernah
sendirian, nggak pernah mandiri, nggak pernah mengalami kesulitan,
kami
nggak akan pernah menjadi indah. Tetap jadi ulat.”
“Kayaknya
setelah itu ya kamu terus jadi
kupu-kupu?”
“Betul.
Nggak salah lagi. Setelah hari ke-13, aku keluar dari kepompong. Dan saat itu
sudah memiliki sayap. Sejenak aku lalu merangkak. Mengeringkan sayap-sayap.
Setelah cukup kering, kukebas-kebaskan sayap untuk
melemaskan dan menguatkannya. Baru setelah itu aku belajar terbang. Dan
tara setelah itu baru aku mencapai
imago, menjadi kupu-kupu dewasa. Jadi, kedewasaan kami para kupu-kupu itu
dimulai saat kami berani terbang sendiri. Melintasi dedaunan. Dan menghirup
udara segar.”
“Wah lama
sekali ya. Nggak nyangka. Aku kira nggak segitu lamanya. Kamu kan terbangnya
lambat” simpulnya sambil tertawa. Burung pipit itu akhirnya bisa membalas
sindiran kupu-kupu itu.
“Hehehe, ya
nggak apa-apa” balasnya. “Memang nggak lama juga sih umur kupu-kupu. Nggak
apa-apa meski cuman sebentar, kata ayahku. Yang penting aku menjalani takdirku
dengan sebaik-baiknya. Menjadi kupu-kupu yang sebaiknya.”
“Aku suka
sekali ceritamu. Tapi kayaknya aku
nggak jadi deh pengin punya sayap kayak punyamu itu. Susah dan lama. Aku nggak
lagi ingin jadi burung bersayap kupu-kupu. Dan mulai saat ini aku nggak
akan sembarangan makan ulat.” ” Dia menatap ke tanah di bawah yang basah seusai terkena gerimis kemarin. Dia
menyadari
kekeliruannya di masa lalu. Dia jarang mempertimbangkan ulat-ulat yang akan dia
makan.
“Jadi, kamu
makannya ulat?” tanyanya dengan nada marah yang dibuat-buat.
Keduanya
lalu tertawa bersama. Persahabatan itu bersemi. Si burung pipit selalu ingin
tahu, dan selalu mendengarkan. Dan kupu-kupu itu mau menjelaskan.
Sebelumnya: Burung bersayap kupu-kupu
Sebelumnya: Burung bersayap kupu-kupu