Akhirnya aku jadi kupu-kupu - Part 2 (Tamat)

“Jadi, cerita lengkapnya gini Pit” ujarnya memulai cerita. “Boleh aku memanggilmu Pit saja? Hehehe”

“Nggak masalah, yang penting kamu hepi” balasnya sambil menyeringai.

“Awalnya, bapak dan ibuku yang juga kupu-kupu meletakkanku di daun pohon. Saat itu aku ya masih telur. Ya, kecil gitu. Kadang daun jeruk, kadang daun pohon lain. Pokoknya daun itu harus hijau.”

“Sama kayak aku dong. Aku dulunya ya juga telur. Lalu menetas, tapi langsung punya sayap. Meskipun nggak ada bulunya. Kayak gimana gitu, kalo nggak ada bulunya sama sekali. Malu kalo dilihat binatang lain hehehe

“Lha kamu mau cerita sendiri apa mau dengerin ceritaku sih” ucapnya ketus. Rupanya, si kupu-kupu kesal.

“Eh sorry, jadi curhat. Ayo wes kamu lanjut ceritanya.”

“Oke deh. Telur itu lalu menetas dalam 4 hari. Biasanya menetasnya dalam 3-5 hari. Tapi aku menetas dalam empat hari, lalu jadi ulat. Karena lapar, aku lalu menggeser tubuhku pelan-pelan untuk makan dedaunan di sekitar tempat telurku itu. Atau kadang ada sih temenku yang makan cangkang telurnya.”

“Nggak terlalu keras tuh cangkangnya?
 
Sumber gambar: http://www.qolbunhadi.com/
“Nggak lah. Lalu beberapa lama kemudian, aku membesar. Karena kulitku nggak elastis dan nggak ikut membesar sesuai pertumbuhan badan, aku harus berganti kulit beberapa kali. Lima kali tepatnya. Kata ibu, pergantian kulit itu disebut instar. Lucu ya?”

“Ya lucu.” Bibirnya menyeringai kecil. Menurutnya, itu nggak begitu lucu. Tapi kalo dia terus terang, dia takut si kupu-kupu tidak akan bercerita lagi. "Warna kulitmu gimana pas masih jadi ulat?"

“Cokelat. Tubuhku agak bundar. Terus ada sedikit duri-durinya gitu. Nggak semua sih begitu. Ada yang berbulu. Pokoke macam-macam lah.”

“Lah terus kapan kamu jadi kupu-kupunya?” Nada bicaranya sudah agak memburu. Tak sabar ingin segera tahu.

“Nah, kalo tubuhku sudah nggak bisa tumbuh dan membesar lagi, itu tandanya aku harus menggeser tubuh ke ranting pohon. Sambil bergelantungan, aku melepaskan kulit terakhir. Nah, kulit terakhir itu lalu membungkusku, menjadi pupa. Alias kepompong. Di situ itu, aku berdiam diri selama 13 hari. Macam-macam sih, ada yang sampe 20 hari malahan”

“Lha ya terus kapan kamu jadi kupu-kupunya?” desaknya dengan suara agak panjang.

“Aduh, kamu kok nggak sabaran gini. Pantesan sayapmu itu jelek” sindirnya sambil tertawa terbahak-bahak.

“Oalah, kamu kok sukanya ngenyek. Mentang-mentang sayapmu itu bagus” kilahnya sambil mendengus.

“Aku lanjutkan ya” potongnya sambil menatap burung pipit yang matanya agak merah. “Di dalam kepompong itulah aku belajar menjadi serangga sempurna. Menyiapkan diri menjadi kupu-kupu. Di dalam situ agak gelap. Terus udaranya agak terbatas. Susah buat napas. Tapi memang harus begitu, kata ibu. Kalo kami nggak pernah sendirian, nggak pernah mandiri, nggak pernah mengalami kesulitan, kami nggak akan pernah menjadi indah. Tetap jadi ulat.”

“Kayaknya setelah itu ya kamu terus jadi kupu-kupu?”

“Betul. Nggak salah lagi. Setelah hari ke-13, aku keluar dari kepompong. Dan saat itu sudah memiliki sayap. Sejenak aku lalu merangkak. Mengeringkan sayap-sayap. Setelah cukup kering, kukebas-kebaskan sayap untuk melemaskan dan menguatkannya. Baru setelah itu aku belajar terbang. Dan tara setelah itu baru aku mencapai imago, menjadi kupu-kupu dewasa. Jadi, kedewasaan kami para kupu-kupu itu dimulai saat kami berani terbang sendiri. Melintasi dedaunan. Dan menghirup udara segar.”

“Wah lama sekali ya. Nggak nyangka. Aku kira nggak segitu lamanya. Kamu kan terbangnya lambat” simpulnya sambil tertawa. Burung pipit itu akhirnya bisa membalas sindiran kupu-kupu itu.

“Hehehe, ya nggak apa-apa” balasnya. “Memang nggak lama juga sih umur kupu-kupu. Nggak apa-apa meski cuman sebentar, kata ayahku. Yang penting aku menjalani takdirku dengan sebaik-baiknya. Menjadi kupu-kupu yang sebaiknya.”

“Aku suka sekali ceritamu. Tapi kayaknya aku nggak jadi deh pengin punya sayap kayak punyamu itu. Susah dan lama. Aku nggak lagi ingin jadi burung bersayap kupu-kupu. Dan mulai saat ini aku nggak akan sembarangan makan ulat.” ” Dia menatap ke tanah di bawah yang basah seusai terkena gerimis kemarin. Dia menyadari kekeliruannya di masa lalu. Dia jarang mempertimbangkan ulat-ulat yang akan dia makan.

“Jadi, kamu makannya ulat?” tanyanya dengan nada marah yang dibuat-buat.

Keduanya lalu tertawa bersama. Persahabatan itu bersemi. Si burung pipit selalu ingin tahu, dan selalu mendengarkan. Dan kupu-kupu itu mau menjelaskan.

Sebelumnya: Burung bersayap kupu-kupu
Latest
Previous
Next Post »
0 Komentar